Gang-Gang Sepanjang Mangga Besar
Ketika sebagian dunia terlelap, sebagian dunia lainnya baru bangun di Mangga Besar. Dan tentu tak ada yang salah dengan itu.
Saya menyusuri sepanjang perjalanan dari lift kantor sampai ke gang depan yang dipenuhi mobil terparkir, sembari memikirkan susu kedelai yang akan saya beli nanti sesampainya di Stasiun Pondok Cina.
“Pake es apa anget ya…” Lamunan saya terpecah ketika suara seorang kolega kantor menyapa dari pos, “Pulang bro?” Saya menoleh, menjawab “Duluan, mas!” sambil melambai tangan, disambut lambaian tangan balik dan ucapan hati-hati dari bahu yang bertato oleh rekan kantor tersebut.
Suasana saat itu sejuk mengingat hujan baru saja selesai mengguyur. Pepohonan rindang tertiup angin dingin yang ikut memeluk kepala saya yang panas akibat meeting intense seharian ini.
Sepersekian detik kemudian saya teringat belum memesan ojek online lantaran hujan baru selesai lima menit lalu. Saya segera meng-assess opsi yang tersedia. “Pulang mas?” Tanya seorang security yang memiliki nama sama dengan ayah saya, “Iya mas. Kalo dari sini jalan kaki ke stasiun jauh nggak ya, mas?” saya bertanya balik, “Wah jauh mas. Bisa sekiloan” jawabnya ramah sambil sedikit berpikir. “Wah sekilo kalo di rumah saya 6000 tuh mas, laundry” Kami berdua terkekeh. Saya memutuskan berjalan.
Udara berbisik lembut melewati bahu saya, dua langkah dari pagar besar berwarna putih milik kantor yang saya tempati. Saya menoleh ke sebelah kanan dan menyaksikan imam dan makmum baru saja melakukan sujud pertama shalat Isya. Saya tersenyum, merunduk.
Perempatan yang selanjutnya akan saya sebrangi terbilang ramai. Sesekali saya melihat orang menyebrang dan saya harus akui rasa penasaran saya lebih besar dibanding rasa sayang kepada nyawa saya sendiri. Jalan menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika saya sampai di depan sebuah gang di mana Bakmi Kota terletak di depannya. Sebuah warung dengan cat dinding merah marun segera menyambut di sebelah kiri.
Hampir lima menit berjalan sebelum kemudian saya tiba di sebuah pertigaan dan sebuah got besar menganga di sebelah kiri dan kanan saya. Penerangan jalan mumpuni meyakinkan saya pasti tidak ada orang yang pernah jatuh ke dalam got ini. Lagipula, gang ini ramai dan penuh dengan orang yang berkerumun. :))
Saya berbelok ke kiri dan menyaksikan orang berkerumun di kanan kiri. Langkah kecil-lari anak-anak bermain atau sekadar kejar-kejaran, bapak-bapak dengan baju oren baru menyelesaikan shift di posko siaga bencana, ibu-ibu yang membicarakan entah apa sembari memomong anak di bahunya. Gang itu terasa begitu hangat dan dekat.
Jalan kembali menunjukkan pertigaan dan kali ini saya berbelok ke kanan. Sebuah laundry sepatu terlihat sepi di sebelah kiri, berbanding terbalik dengan pemandangan warung dan jajanan yang ramai di gang sebelahnya. Kali ini ujung gang terlihat tiga-empat kali lebih jauh.
Pagar-pagar dibuat lebih tinggi dan jalan lebih luas. Sekali dua saya menoleh keatas, rumah-rumah seperti ruko di gang ini memiliki lantai tiga kali lebih tinggi dibanding gang sebelumnya. Tak jauh, terdapat pelbak yang letaknya ada di antara rumah di gang yang sedang saya lewati.
Jam menunjukkan pukul 7.45, beberapa orang sudah tertidur pulas di kasur yang dibentangkan di pelbak, beberapa lagi masih bekerja. Jika gang sebelumnya penuh kehangatan, gang panjang ini lebih dingin dan temaram.
Saya melanjutkan perjalanan dan menemukan diri berada di perempatan kedua sepanjang perjalanan. Kali ini berbeda dengan adanya bengkel motor yang berada di sebelah kiri.
Bengkel motor tersebut dipenuhi laki-laki yang tangannya kehitaman akibat kena oli, saya menoleh ke kanan dan sadar bahwa saya berada di sebuah jembatan dengan kali yang mengalir tenang di bawahnya. Kembali menoleh ke kanan, bengkel tersebut memiliki pemandangan air mengalir sebagai latarnya, membuatnya seolah terapung.
“Astaga. Bengkel ini konsepnya venesia.”
Tak jauh, di sebelah kiri saya kini terdapat rumah yang disulap menjadi ladies fitness dengan beberapa motor memenuhi pekarangannya. Sorai terdengar dari dalam, sama kencangnya dengan lagu yang diputar untuk gerakan senam yang tak bisa terlihat dari luar.
Jujur, saya lebih kagum dengan ilmu marketing milik tukang bubur kacang ijo yang membuka warung TEPAT di depan fitness, dengan satu dua tempat duduk. Now I know a thing or two about protein fulfillment post-workout tapi menyediakan tempat duduk untuk makan sambil ghibah? — that’s smart.
Jika saya boleh memberi saran kepada sang pemilik toko kacang ijo, terdapat sebuah bekas reruntuhan rumah yang di pagarnya tertera nama agen properti “PUTERI” dan “AGUS” yang masih tak berubah hingga terakhir saya melewati gang tersebut (yang sabar ya mbak Puteri, mas Agus.) Jika nanti bubur kacang ijo tersebut laku, please, pertimbangkan untuk hubungi mbak Puteri dan mbak Agus agar dapat membuka kafe di rumah tersebut. Kelak kafe tersebut akan berkonsep reruntuhan, dan siapapun pengunjung ladies fitness akan memiliki tempat yang lebih luas untuk mengisi kembali energi mereka sambil membicarakan hal-hal.
Melanjutkan perjalanan, terdapat anyak pengumuman terima kost tergantung di pagar di sebelah kiri dan kanan saya. To my surprise, saya juga melihat dua buah gereja sepanjang gang. Nothing’s wrong with it, saya hanya bertanya-tanya bagaimana jika jemaahnya membawa mobil pribadi dan dimana parkirnya nanti.
Tak banyak yang menarik sampai saya menemukan perempatan lagi, bosan mengambil jalan lurus, kali ini saya berbelok lantaran melihat lebih banyak aktivitas manusia yang bisa saya amati di sana.
Benar saja, mata saya menangkap seorang laki-laki dan perempuan sedang bersitegang — bisa dilihat dari air wajahnya, btw. Sang laki-laki duduk di motor scoopy merahnya sambil menunduk, sementara sang perempuan berdiri bertolak pinggang, menatap (entah status mereka apa) orang didepannya tak puas.
Saya berusaha tidak melakukan kontak mata sebelum-saat-sesudah melewati mereka. Sayup-sayup keduanya diam menunggu saya lewat namun segera setelah saya melewati mereka, sang perempuan kembali membuka mulutnya,
“Kamu tuh ngomongin komitmen komitmen sendirinya aja gak bisa. Putus ajalah!” DHEG! Saya menelan ludah. Perempuan barusan tak sadar bahwa ada dua laki-laki yang baru saja ia marahi. Saya ikut merunduk, can relate dengan apa yang sedang dirasakan oleh bro di motor scoopy tadi.
Andai saya bisa, saya akan mencari warung kelontong terdekat untuk sekadar menguping kelanjutan dari hubungan keduanya. Apakah akhirnya keduanya berbaikan dan melanjutkan kehidupan ayang-ayangan atau malam itu semuanya berakhir? Semua usaha pendekatan, masa-masa kasmaran, momen jadian dan pegangan tangan pertama?
Saya terperanjat ketika sebuah perempatan berada tepat di depan mata saya lagi. Kali ini di ujung gang, terdapat lampu-lampu dari gedung hotel maupun karaoke yang berada di jalan depan stasiun Mangga Besar. Saya ingat sebuah lagu yang mengatakan, “at night the city grows, look at the horizon glows”. Pemandangan yang jarang terlihat saat siang hari.
Saya memutuskan untuk berbelok kanan saat tak sengaja bertatapan mata dengan ibu-ibu penjual ketoprak yang belum pernah saya temui sebelumnya.
“Eh mas, darimana aja?” Tanyanya sambil tertawa.
“Biasalah bu, kerja” Saya menjawab sambil tersenyum.
Kami tidak mengenal satu sama lain.
Kali ini ujung gang dapat terlihat dan sedikit lebih gelap karena pepohonan. Saya dapat melihat sebuah pertigaan karena motor dan mobil lalu lalang dari ujung gang. Beberapa langkah dari ujung, sebuah gang kecil lainnya yang diportal di sebelah kiri saya memiliki anak-anak yang sedang bermain bola plastik. Salah seorangnya mengenakan jersey Chelsea dengan Lukaku #9 di punggungnya menggocek bola sebelum akhirnya melepaskan tendangan yang diblok oleh anak lainnya. Bola memantul ke pagar. Tidak ada gol hari ini.
Saya juga melewati sebuah gedung yang dipenuhi motor dan beberapa orang berdiri di depan pintunya, belakangan saya tahu bahwa tempat tersebut adalah panti pijat.
Ujung gang lain mempertemukan saya dengan street food sepanjang jalan Mangga Besar. Sate ular, biawak, you name it. Beberapa warung dipenuhi orang-orang kelaparan, termasuk pasangan muda-mudi yang tertawa dan saling menyuapi satu sama lain, beberapa warung lainnya diisi oleh orang-orang yang makan sambil bernyanyi-nyanyi. Saya melewati satu orang yang merebahkan diri di jok, menyanyikan lagu Munajat Cinta dari Dewa 19,
“Tuhan kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintai aku
Apa adanya”
Ia bernyanyi dengan mata terpejam dan khidmat seolah tak terpengaruh bau durian yang menyeruak dari mobil-mobil pick-up sepanjang jalan, mengikuti headset berwarna putih yang tersambung dengan gawai di celana panjangnya. Ia kemudian bangkit ketika sebuah motor ingin pergi dari parkirannya dan meniup peluit. Galaunya putus di tengah-tengah, persis seperti Spotify yang belum premium.
Mangga besar terbuat dari kesepian dan kehangatan, pikir saya.
Saya sampai di stasiun dan menemukan sepasang muda-mudi sedang berseteru (lagi). Kali ini tanpa suara, sang perempuan menunduk menggeleng sementara sang laki-laki berusaha membujuk, keduanya masih mengenakan helm gratis beli motor Honda meskipun sang laki-laki duduk di jok Satria Fu.
Langkah saya terhenti sambil memindai pedulilindungi. Hotel-hotel di sekitar stasiun juga tak kalah ramai. Lalu lintas orang keluar masuk makin ramai semakin gelap.
Ketika sebagian dunia terlelap, sebagian dunia lainnya baru bangun di Mangga Besar. Dan tentu tak ada yang salah dengan itu. Saya menemukan patah hati, kesepian, kehangatan, keceriaan, dan sepasang hati lain yang bertemu dalam setengah jam perjalanan.
Jam menunjukkan angka 8 saat saya menaiki elevator dan memasuki peron kereta api. Di kereta wajah-wajah lelah terlihat, pintu kereta menutup dan saya melihat satu tambahan wajah lelah lainnya terpantul di cermin pintu gerbong.
Pintu kereta terbuka di Pondok Cina. Kali ini pertanyaan saya di awal terjawab dengan mudah,
“Pake es apa anget bang susu kedelenya?”
“Es bang!”