Bagaimana kita menganalogikan perubahan iklim dengan Attack on Titan
Bisa membayangkan nasi padang kamu hanya berisi nasi, sambal, dan kerupuk saja karena sapi-sapi penghasil rendang punah? Yuk lawan perubahan iklim.
Dalam acara terakhir saya tentang perubahan iklim, saya membawa analogi Attack on Titan dimana kita manusia adalah Scout Team, dan perubahan iklim adalah Titans.
Begini cerita bagaimana keduanya saling terhubung.
Attack on Titan menceritakan peradaban di paradise island yang hidup di pulau yang daerah peradabannya dikelilingi dinding-dinding besar setinggi 50 meter, Wall Maria atau Tembok Maria merupakan sebutan untuk dinding terluar dan semua kegiatan dilakukan di balik dinding tersebut.
Atas dasar bahwa daerah di luar dinding dinyatakan ‘berbahaya’, pemerintah setempat kemudian membentuk Scout Team yang ditugaskan untuk melakukan eksplorasi daerah luar tembok Maria. Sedikit banyak tugasnya untuk mencari sumber daya alam baru serta memperingati akan bahaya-bahaya yang dianggap sebagai ancaman.
Ketika pertama kali Titans menyerang tembok Maria dan menjadi ancaman yang benar-benar hadir di kehidupan mereka, manusia paradise island sama sekali tak tahu apa-apa. Titans kemudian menjadi satu hal besar dan menakutkan yang semua hanya bisa lari darinya, berharap adanya penyelamat entah dalam bentuk apa yang hadir untuk kemudian membasmi masalah Titans ini.
Cara berpikir kita tentang perubahan iklim masih sama dengan cara berpikir manusia paradise island ketika pertama kali diserang Titans.
Ketika kita membicarakan perubahan iklim, seolah ada konsensus bersama bahwa hal yang dibicarakan ini merupakan ‘urusan para pejabat dan petinggi negara’, ‘buang sampah pada tempatnya’, atau berharap pada adanya teknologi Messiah ala Elon Musk yang memindahkan peradaban ke Mars atau robot seperti di film-film fiksi ilmiah yang menyelamatkan bumi.
Hal ini bukanlah tak beralasan, George Marshall dalam bukunya Don’t Even Think About It: Why our Brains are Wired to Ignore Climate Change, menulis bahwa manusia memiliki bias optimisme sehingga cenderung buta terhadap akan adanya bahaya yang tak terlihat, khususnya yang terjadi di masa depan.
Nggak salah, kita memang lebih banyak terfokus pada hal-hal yang terjadi di depan mata kita.
Hal-hal menjadi menarik justru ketika kita sadar bahwa teknologi yang diharap-harap tak akan datang, konsensus negara-negara masih belum sepenuhnya melindungi kita, dan kita sudah buang sampah pada tempatnya tapi banjir justru semakin intens.
Kesadaran ini pula yang mengubah Eren dan teman-temannya untuk melindungi paradise island dari serangan Titan, bahwa pada akhirnya kita hanya memiliki diri sendiri. We’re our own messiah.
Baru-baru ini sebuah foto seorang pria terjebak banjir di Seoul menjadi viral di internet, foto ini mengingatkan saya pada banjir awal tahun baru 2020 yang mengubah media sosial menjadi panggilan minta tolong dimana-mana. Terjebak di atap, terjebak di lantai 2, dan sejenisnya, — saat itu twitter benar-benar melakukan magic-nya.
Hal itu kemudian yang menjadi penggerak saya dalam isu perubahan iklim bahwa kita tak bisa tinggal diam dan berharap adanya dewa penyelamat yang datang dan menawarkan solusi instan. Teman saya bercerita bahwa penggeraknya adalah ketika liburan ke Antartika dan menyadari bahwa pinguin akan punah jika perubahan iklim tak segera ditangani.
Ada perbedaan-perbedaan yang signifikan antara kita dan manusia di paradise island:
Pertama, kita tak tinggal di sebuah dunia dimana terdapat dinding-dinding membatasi kita. Pengetahuan dan sumber daya alam yang dapat ‘digunakan’ berlimpah sehingga dikembalikan lagi ke kita untuk memaksimalkan potensi keduanya dengan sebaik mungkin.
Kedua, scout team yang manusia miliki hadir dalam bentuk laporan-laporan terbaru yang menunjukkan perkembangan perubahan iklim secara drastis. PBB menyebut laporan terbaru IPCC sebagai Code red for Humanity lantaran efek yang dirasakan sudah semakin intens (heat waves, floods) dan trajektori 1,5° yang diperingatkan IPCC makin dekat (2030, dengan kondisi saat ini perubahan suhu 1,1° di tahun 2021)
Jika kita menganalogikan titans sebagai bencana-bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim, maka kita harus look no further. IPCC memperingatkan titans akan menyerang 10 tahun lagi atau bahkan lebih cepat, “Next wave of titan attack will come in the next 10 years!” What would we do to protect our lives, culture, family, and home?
Perubahan iklim terdengar seperti isu berat, padahal kita hanya perlu paham bagaimana ancamannya terhadap hal-hal terdekat kita. Bisa membayangkan nasi padang 10 ribu kamu hanya berisi nasi, sambal, dan kerupuk saja karena sapi-sapi penghasil rendang punah? Yuk lawan perubahan iklim, mana kenyang makan begitu.
Persis. Cara berpikir kita terhadap perubahan iklim harus diubah menjadi bagaimana hal tersebut mengancam hal-hal terdekat kita. Hal-hal yang menganggu kita. Banjir, nasi padang, pinguin, perang sipil, imigran. Pick your cause.
Last but not least, soundtrack Attack on Titan, Shinzo wo Sasageyo berarti dedicate your heart. Thus, it takes dedication and heart to learn and fighting for more liveable planet in terms of climate change.
— Kanzia Rahman.